A. Pengertian
Globalisasi
Kata "globalisasi"
diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum
memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working
definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses
alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu
sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi
dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi
akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan
jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar
atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran di
atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang
telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John
Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan
hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988)
mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi
universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak
global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang
bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri
sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Di sisi lain, ada yang melihat
globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa,
sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya.
Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam
bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena
tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Globalisasi adalah sebuah
istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.
Dalam banyak hal, globalisasi
mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga
kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan
istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau
batas-batas negara.
B. Globalisasi dan Pendidikan
Banyak orang yang
mempertanyakan tentang kontradiksi antara pendidikan, globalisasi dan
keuntungan. Tak jarang banyak orang beragumentasi bahwa dunia pendidikan adalah
untuk anak-anak dan bukan untuk menjadi lahan meraih keuntungan. Pertanyaan
yang lebih ektrim adalah, apakah dalam situasi globalisasi masihkan dunia
pendidikan tersedia dan menguntungkan kelompok miskin. Kian mahalnya ongkos
mengenyam bangku sekolah membuat hanya segelintir anak-anak yang mampu
mengenyamnya.
James Tooley, PhD mengatakan bahwa pilihan, kompetisi,
dan kewiraswastaan yang bergerak di pasar pendidikan di seluruh dunia telah
menumbuhkan kerangka pendidikan yang terbaik, bahkan bagi kaum miskin(2005). Ia
memberikan contoh program pendidikan yang dijalankan oleh Oxfam di Lahore,
Pakistan, yang mampu menunjukkan bahwa anggapan bahwa sekolah-sekolah swasta
melayani kebutuhan sejumlah kecil orang kaya adalah suatu asumsi yang keliru. Persaingan yang terjadi antar sekolah-sekolah swasta tersebut bukan hanya
ditataran biaya semata namun juga pada kurikulum sekolah. Sekolah-sekolah
swasta tersebut bahkan telah menjangkau wilayah-wilayah kumuh yang semula
enggan didatangi oleh sekolah pemerintah, seperti apa yang terjadi di India.
Hanya saja, pemerintah acapkali tidak mengakui keberadaan sekolah-sekolah
swasta ini.
Dalam perkembangannya bahkan banyak orang tua murid
yang lebih senang menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dari pada sekolah
pemerintah, meskipun dengan biaya gratis. Seperti yang
acapkali ditemukan di India, banyak sekolah-sekolah negeri telah kehilangan
kualitas yang signifikan. Bukan saja fasilitas fisik sekolah yang menyedihkan
namun juga kualitas mengajar guru yang sangat memprihatinkan. Fenomena seperti
ini dapat dibayangkan, jika mengingat besaran subsidi dan kemampuan pemerintah
untuk bertahan memberikan subsidi pembangunan kepada sekolah-sekolah negeri.
C.
Memahami
Globalisasi dan Dampak Globalisasi terhadap Dunia Pendidikan
Tiap negara memiliki strategi
dalam menghadapi globalisasi sehingga dampak integrasi dan globalisasi beragam.
Posisi sebuah negara bisa diketahui dalam indeks globalisasi yang diukur dengan
beberapa indikator, seperti konektivitas global, integrasi, dan ketergantungan
pada ruang ekonomi, sosial, dan ekologi.
Ada lima kategori pengertian
globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur.Kelima kategori definisi
tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun
masing-masing mengandung unsur yang khas.
1.
Globalisasi
sebagai internasionalisasi
Dengan pemahaman ini,
globalisasi dipandang sekedar ‘sebuah kata sifat (adjective) untuk
menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara.
2.
Globalisasi
sebagai liberalisasi
Dalam pengertian ini,
‘globalisasi’ merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan yang
dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah
ekonomi dunia yang ‘terbuka’ dan ‘tanpa-batas.’
3.
Globalisasi
sebagai universalisasi
Dalam konsep ini, kata
‘global’ digunakan dengan pemahaman bahwa proses ‘mendunia’ dan ‘globalisasi’
merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke
seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran
teknologi komputer, televisi, internet, dll.
4.
Globalisasi
sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang
Americanised) ‘Globalisasi’ dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika,
di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme,
industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang
dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta
merampas hak self-determination rakyat setempat.
5.
Globalisasi
sebagai penghapusan batas-batas territorial (atau sebagai
persebaran supra-teritorialitas) ‘Globalisasi’ mendorong ‘rekonfigurasi geografis,
sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial,
jarak teritorial, dan batas-batas teritorial.’ A. Giddens (1990) mendefinisikan
globalisasi sebagai ‘intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan
komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang
jauh dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula,
dan sebaliknya.’
Dalam dunia pendidikan,
globalisasi membawa banyak dampak dan efek. Dampak globalisasi terhadap dunia
pendidikan paling tidak terlihat dalam 3 perubahan mendasar dalam dunia
pendidikan.Pertama, dalam perspektif neo-liberalisme, globalisasi menjadikan
pendidikan sebagai komoditas dan komersil. Paradigma dalam dunia komersial
adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara
kontinyu.Tuntutan pasar ini mendorong perubahan dalam dunia pendidikan.
Perubahan tersebut bisa dalam bentuk penyesuaian program studi, kurikulum,
manajemen, dll. Komersialisasi pendidikan juga memacu privatisasi
lembaga-lembaga pendidikan.Kedua, globalisasi mempengaruhi kontrol pendidikan
oleh negara. Sepintas terlihat bahwa pemerintah masih mengontrol sistem
pendidikan di suatu negara dengan cara intervensi langsung berupa pembuatan
kebijakan dan payung legalitas. Tetapi tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan
institusi global seperti IMF dan World Bank yang membuat dunia politik dan
pembuat kebijakan cenderung market-driven.Ketiga, globalisasi mendorong
delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaataan
teknologi baru seperti komputer dan internet telah membawa perubahan yang
sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Disamping membantu
akselerasi arus pertukaran informasi, teknologi tersebut telah ikut mendorong berjamurnya
system pendidikan jarak-jauh. Di sini terlihat fenomena delokalisasi, di mana
orang-orang belajar dalam suasana yang sangat individual dan menghalanginya
untuk berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang di sekitarnya.
Meskipun dipandang dari sudut
yang berbeda, kita bisa membuat sebuah generalisasi bahwa kata kunci dari
globalisasi adalah: kompetisi. Kalau sudah menyangkut kompetisi, maka kita
mesti memperhatikan salah satu faktor penentu dalam kompetisi yaitu ketangguhan
sumber daya manusia (SDM) yang merupakan output dari pendidikan. Oleh karena
itu, relevansi antara pendidikan nasional dengan globalisasi tidak saja dalam
aspek dampak tetapi juga dalam segi tantangan. Artinya, globalisasi adalah
sebagai sebuah proses yang tidak bisa diputar mundur dan terus bergulir yang
menantang dunia pendidikan kita.
D.
Siapkah Dunia
Pendidikan Indonesia Menghadapi Globalisasi?
Sebelum kita menjawab apakah
dunia pendidikan kita siap menghadapi globalisasi, kita perlu bertanya apakah
Indonesia sudah siap menghadapi globalisasi. Dalam summit APEC di Bogor tahun
1994, Indonesia dengan berani menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan
menyatakan: “Siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi
karena sudah berada di dalamnya”.
Banyak pengamat menilai bahwa
pada waktu itu Indonesia menyatakan ‘siap’
dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis. Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator—terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei—yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).
dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis. Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator—terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei—yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).
Menurut indikator pertama,
dalam tingkat kompetisi global tahun 2002, Indonesia berada pada posisi ke-72
dari 115 negara yang disurvei. Indonesia berada di bawah India yang menempati
posisi ke-56, Vietnam pada posisi ke-60, dan Filipina pada posisi ke-66.
Meskipun konfigurasi yang dibuat oleh Global Economic Forum ini lebih merupakan
kuantifikasi dari aspek ekonomi dan bersifat relatif, tetapi secara umum
prestasi tersebut juga merefleksikan kualitas dunia pendidikan kita. Dari sudut
persepsi publik terhadap korupsi tahun 2002, hasil survei yang dilakukan oleh
Transparency International dan Universitas Göttingen menempatkan Indonesia pada
urutan ke-122. Indonesia berada di bawah India yang menempati posisi ke-83, Filipina
pada posisi ke- 92, dan Vietnam pada posisi ke-100.
Mengingat sikap dan watak
merupakan hasil pembinaan pendidikan, dunia pendidikan kita bisa dianggap
‘liable’ terhadap perilaku korup. Implikasi indikator ini terhadap dunia
pendidikan kita secara umum ialah proses pendidikan kita belum mampu—secara
signifikan—menghasilkan lulusan yang bersih, jujur dan amanah. Sedangkan
menurut indikator pengembangan SDM tahun 2002, Indonesia menempati posisi
ke-112 dari 174 negara.
Data tersebut menempatkan
Indonesia di bawah Filipina yang berada pada posisi ke-85, China pada urutan
ke-104, dan Vietnam pada posisi ke-109. Jika dari segi ekonomi kita—diakui
secara jujur—belum siap bersaing, apalagi dalam dunia pendidikan secara umum.
Salah satu bukti ketidaksiapan SDM kita bersaing secara global adalah level
jabatan TKI kita di luar negeri rata-rata pekerja kasar, hanya sebagian kecil
sebagai pekerja profesional, dan lebih sedikit lagi pada level pimpinan. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan TKA (expatriates) yang bekerja di Indonesia
yang mayoria menempati level profesional dan pimpinan.
E.
Kondisi dan
Kendala Kontemporer Dunia Pendidikan Indonesia
Berbicara masalah pendidikan
di Indonesia adalah membahas hal yang sangat luas, dinamis, fluktuatif dan
relatif. Oleh karena itu, kita hanya bisa mengatakan bahwa pendidikan di
Indonesia ‘gagal’ secara kategoris. Sebenarnya pendidikan Indonesia telah
banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional dan output yang brilyan dan kompetitif
dari masa ke masa. Kalau digeneralisasi bahwa dunia pendidikan kita sudah
gagal, maka Republik ini sudah lama bubar. Salah satu contoh keberhasilan
pendidikan kita misalnya adalah menjamurnya sekolah-sekolah yang ‘berprestasi’
khususnya pada jenjang Sekolah Menengah yang dalam periode 1996-1997 sering
dikenal sebagai SMU (sekarang kembali ke istilah Sekolah Menengah Atas atau
SMA) ‘unggulan’ atau SMU ‘plus.’
Dari studi Pusat Penelitian
Kebijakan, Balitbang Depdiknas terhadap 12 SMU yang dinilai berprestasi yang
tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, prestasi yang dicapai oleh sekolah
berprestasi ini cukup melegakan. Indikator pertama, NEM SMU berprestasi setiap
tahunnya berada pada peringkat 1, 2, atau 3 di tingkat propinsi lokasi sekolah
bersangkutan. NEM terentang dari 47,99 sampai 64,27. Sekitar 81,2% rata-rata
NEM siswa SLTP (sekarang kembali ke istilah Sekolah Menengah Pertama atau SMP)
yang diterima di SMU berprestasi adalah 6,5 keatas. Kedua, sebagian besar guru
SMU berprestasi memiliki pendidikan S1, hanya beberapa SMU yang memiliki
beberapa guru jenjang S2, Sarjana Muda atau D3, bahkan SMU. Ketiga, kebanyakan
SMU berprestasi memiliki sarana dan prasarana yang baik, yakni tanah yang cukup
luas, tempat parkir, lapangan olah raga, tempat bermain atau jenis kegiatan
lainnya, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang
guru, ruang TU, alat bantu pelajaran Fisika, Biologi, Matematika serta berbagai
peralatan elektronik seperti video, TV, tape-recorder, sound system dalam lab
bahasa, perangkat komputer sebagai media belajar. Keempat, seluruh guru SMU
berprestasi menyusun satuan pelajaran. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
meliputi: intra dan ekstra kurikuler. Guru umumnya menyampaikan materi dengan
metode yang bervariasi meliputi: ceramah, tanya-jawab, diskusi, simulasi,
resitasi, tugas membaca di perpustakaan, praktikum di laboratorium, dan pemanfaatan
media belajar lainnya.
F.
Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia
1. Paradigma Pendidikan Nasional
yang Sekular-Materialistik
Diakui
atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem
pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus
dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama
dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah
gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara
kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui
madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama;
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan
serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat
kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan
oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses
pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar
salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh
aspek.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang
menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan
rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan
agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta
dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang
awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu
terjun ke sektor modern.
2. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan
masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan
yang bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai
Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana
di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada
wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak
transparan. Karena komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi
ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu pemerintah secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik
tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang.
Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya
merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang
menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati
pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa
yang seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin
berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut :
Mencermati konteks pendidikan dalam praktik
seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial.
Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan
bebas (free trade). Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama
tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian
itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk
mengeruk habis uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongan.
3. Kualitas SDM yang Rendah
Akibat
paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian
anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat
jauh jika dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India,
sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang
rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat
menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih
dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang
dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar
Internasional.
Di samping
kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih
kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut
menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun
SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000
guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.
Dalam
menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia
dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan
sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
4. Penyesuaian Pendidikan
Indonesia di Era Globalisasi
Dari beberapa takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap
menghadapi globalisasi. Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu
saja dalam arus global tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih
dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan
peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu
tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan
tangguh. Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan.
Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga,
alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam
pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari
pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga
memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita
lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan
nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena
mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar
kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini,
kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi,
maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita
sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.
Yang
dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning
strategy (strategi) , dan leadership (kepemimpinan). Tanpa
itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus
berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan
komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun
2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa
yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.
G.
Dampak Positif dan Negatif Globalisasi Dalam Pendidikan
Dampak positif
globalisasi pendidikan:
1. Semakin mudahnya akses informasi.
2. Globalisasi dalam pendidikan akan menciptakan manusia yang professional dan
berstandar Internasional dalam bidang pendidikan.
3. Globalisasi akan membawa dunia pendidikan Indonesia bisa bersaing
dengan negara-negara lain.
4. Globalisasi akan menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan mampu
bersaing.
5. Adanya perubahan struktur dan sistem pendidikan yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan karena perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pendidikan akan sangat pesat.
Dampak negative globalisasi pendidikan:
1. Dunia pendidikan Indonesia bisa dikuasai oleh para pemilik modal.
2. Dunia pendidikan akan sangat tergantung pada teknologi, yang berdampak
munculnya “tradisi serba instant”.
3. Globalisasi akan melahirkan suatu golongan-golongan didalam dunia
pendidikan.
4. Semakin terkikisnya kebudayaan akibat masuknya budaya dari luar.
5. Globalisasi mengakibatkan melonggarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar