BAB I
PENDAHUUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi-studi tentang gender
saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya
kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri,
dan hal tersebut mengakibatkan ketidak mampuan mereka bersaing dengan
kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum
perempuan dan mengajak mereka berperan serta
dalam pembangunan. Namun kenyataannya proyek-proyek
peningkatan peran serta perempuan agak salah arah
dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa
hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Dalam realitas yang kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat
kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan
dalam pendidikan formal. Bahkan adaa nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya ke dapur juga.” Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat
menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang
menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum laki-laki.[1]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah problematika gender
dalam pendidikan?
2. Bagaimanakah pendidikan memandang gender?
3. Bagaimanakah membangun pendidikan berperspektif gender di
sekolah?
4. Bagaimanakah
strategi menuju kesetaraan gender dalam pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gender
Gender
adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara
kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.[2]
Gender
merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau
memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi
dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya
terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan,
fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan.[3]
Dengan
demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau
rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat
berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa,
masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena
perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena
kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
B. Problematika
Gender dalam Pendidikan
Rendahnya
kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya
diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek
permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:[4]
1.
Akses
Aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai.
Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang
pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah
memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus
menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih
tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah
yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak
anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit
meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan
banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
2.
Partisipasi
Aspek
partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan
statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat
sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di
arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh
kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan
bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus
didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan
dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia
harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
3.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya
angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah
penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823
orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan
Pendidikan tidak hanya
sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi
segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai
yang berkaitan dengan isu gender.[5] Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi
kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku
yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru,
guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat
pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender
yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan
barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki
selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin
organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan
kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan
gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut
Idris semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam
pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki
adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk
pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.[6]
C. Pendidikan memandang Gender
Dalam
deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mendapatkan
pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima
serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta
harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia …”.
Terkait
dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan
dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan
juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan
juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu
kualitas yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan
bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar
mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.[7]
Departemen
Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum
dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 [8] tinggal bagaimana
mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada
kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat
pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala
bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Dengan
demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat
minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama
dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan ketrampilan
lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut
akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan
persamaan sesungguhnya.[9]
E.
Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika
sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga
nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi
dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak
membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi
dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia
harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di
sekitarnya untuk mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus
mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak
kepadakeadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.[10]
1.
Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk
melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah
berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang
lebih konkrit yang didapat dari pengamatan, penelitian dianalisis kiritis
terhadap lembaga sekolah. Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan
untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan
perubahan-perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada
elemen-elemen yang biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga
seperti misalnya: ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang
dikembangkannya, struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian
tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan
kekuasaaan, lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal
sejauh mana lembaga sekolah tergenderkan.
2.
Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru
harus diupayakan mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan
pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan
adanya persoalan tersebut. Jika guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang
cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang sangat penting untuk
dijadikan landasan membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila
guru memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat untuk menciptakan
keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya, melalui proses pembelajaran
di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam perlakuan di kelas. [11]
3.
Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti
diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah
metode pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang
memungkinkan adanya penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang
tak terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan
diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan
problematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog
dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas
tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan
kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep
penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.
4.
Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa
merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka gender, karena di
dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau
ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang
dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non
verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang
atau mengerling menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan
peran bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting
dalam pendidikan.
D.
Menuju Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Usaha
untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain
dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical genderneeds). Kebutuhan
ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk
melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan
pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara,
tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan.
Adapaun
strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai
berikut:[12]
- Penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
- Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
- Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan
- Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
- Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
BAB III
PENUTUP
Budaya bias laki-laki
membentuk perempuan cenderug nrimo, karenanya upaya sistematis dan
berkelanjutan tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi
semakin mendesak, akses pendidikan perempuan dan laki-laki harus mendapatkan
kesempatan yang sama. Anak perempuan, sebaimana anak laki-laki harus mempunyai
hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi.
Gender di era global
berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan,
hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan
kesejahteraan bersama. Pendirian
gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang
bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi
pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar
diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakanjenis
kelamin.
Demikian pembahasan
makalah kami, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kekurangan. Kritik dan saran anda sangatlah kami
harapkan.
Bekasi,
05 November 2015
Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
Muawanah, Elfi. Pendidikan Gender dan Hak Asasi
Manusia. Yogyakarta: Teras, 2009.
Muthia’in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta:
UMS, 2001.
Narwoko, Dwi dan Bagong Yuryanto. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.
Roqib, Moh. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta:
Gama Media, 2003.
Sumanto, Daryo. Isu Gender dalam Bahan Ajar. Jakarta: Akses Internet, 2004.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Universitas Indonesia Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, 2004.
Suryadi, Acee dan Ecep
Idris. Kesetaraan
Gender dalam bidang Pendidikan. Jakarta: PT Genesindo, 2004.
[1]
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi
Revisi, (Universitas Indonesia Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
2004), h. 114
[2]
Dwi Narwoko dan Bagong Yuryanto, Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h.
334
[4]
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi
Manusia, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 54
[6]
Acee Suryadi, Ecep Idris, Kesetaraan Gender
dalam bidang Pendidikan, (Jakarta: PT Genesindo, 2004)
[8]
Daryo
Sumanto, Isu Gender dalam Bahan Ajar, (Jakarta: Akses Internet, 2004), h.
1
[10]
http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-dan-pendidikan.pdf, diakses pada tanggal,
04 November 2015
[12]
http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-dan-pendidikan.pdf, diakses pada tanggal,
04 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar